Setelah hampir 5 tahun tidak pulkam, akhirnya awal oktober ini saya berkesempatan untuk mudik alias pulang kampung ke Palembang. Di tengah bencana kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan, sejujurnya saya sedikit khawatir dengan kesehatan anak-anak. Dan benar saja, begitu landing di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, mata saya langsung perih dan bau asap memenuhi ruangan di bandara.
Apalagi saat itu (30 sept) kabut asap dalam kondisi terparah. Dimana konsentrasi debu (aerosol) di udara saat itu lebih dari 400 mikrogram per meter kubik. Sementara bila debu (aerosol) udara mencapai 100-200 mikrogram per meter kubik, kondisi udara sudah dinyatakan tidak sehat. Mmm...bisa dibayangkan dong gimana rasanya menghirup udara bercampur asap.
Hampir satu minggu di sana, membuat saya kangen Depok. Nyaris seminggu tidak melihat matahari. Sepanjang hari adalah waktu subuh, mendung, redup diselimuti pekatnya asap. Mau kemana-mana rasanya males banget. Kalau bukan karena hajatan menikahkan adik, rasanya emoh banget pulang. Kondisinya gak tepat cuy..
Sebagian besar lahan kota Palembang adalah rawa-rawa dan gambut. Musim kemarau membuat lahan gambut yang terbakar (atau dibakar..) cepat menyebar. Menghanguskan apapun yang ada disekitarnya.
Please deh..untuk pemilik perusahaan dan konglomerat-konglomerat yang kabarnya berasal dari Indonesia, Singapura dan Malaysia. Dan kabarnya lagi pembakaran gambut untuk membuka lahan perkebunan sawit. Dan kabarnya lagi pemerintah daerah lepas tangan. Dan kabarnya lagi mereka gak peduli karena dulu ketika pilkada mereka mendapat dana dari perusahaan-perusahaan itu. Dan kabarnya lagi kota-kota di Sumatera dan Kalimantan belum darurat asap. Dan kabarnya lagi..lagi..lagi
Percuma membagikan masker yang katanya diimpor dari negeri seberang. Kami gak butuh masker. Kami butuh tindakan nyata hingga tuntas. Sedih..
Seharusnya saya berwisata religi untuk melihat galeri kitab suci Al-quran yang terkenal dengan "Bait Al-Quran Al-Akbar" di daerah Gandus. Tapi apa daya, Gandus adalah daerah terparah yang diselimuti kabut asap.
Kalau sudah begini slogan "Welcome to Bumi Sriwijaya" diganti saja menjadi "Welcome To Smoke City" . Entah sampai kapan...
Apalagi saat itu (30 sept) kabut asap dalam kondisi terparah. Dimana konsentrasi debu (aerosol) di udara saat itu lebih dari 400 mikrogram per meter kubik. Sementara bila debu (aerosol) udara mencapai 100-200 mikrogram per meter kubik, kondisi udara sudah dinyatakan tidak sehat. Mmm...bisa dibayangkan dong gimana rasanya menghirup udara bercampur asap.
Sebagian besar lahan kota Palembang adalah rawa-rawa dan gambut. Musim kemarau membuat lahan gambut yang terbakar (atau dibakar..) cepat menyebar. Menghanguskan apapun yang ada disekitarnya.
Please deh..untuk pemilik perusahaan dan konglomerat-konglomerat yang kabarnya berasal dari Indonesia, Singapura dan Malaysia. Dan kabarnya lagi pembakaran gambut untuk membuka lahan perkebunan sawit. Dan kabarnya lagi pemerintah daerah lepas tangan. Dan kabarnya lagi mereka gak peduli karena dulu ketika pilkada mereka mendapat dana dari perusahaan-perusahaan itu. Dan kabarnya lagi kota-kota di Sumatera dan Kalimantan belum darurat asap. Dan kabarnya lagi..lagi..lagi
Percuma membagikan masker yang katanya diimpor dari negeri seberang. Kami gak butuh masker. Kami butuh tindakan nyata hingga tuntas. Sedih..
Seharusnya saya berwisata religi untuk melihat galeri kitab suci Al-quran yang terkenal dengan "Bait Al-Quran Al-Akbar" di daerah Gandus. Tapi apa daya, Gandus adalah daerah terparah yang diselimuti kabut asap.
"Bait Al-Quran Al-Akbar" di Gandus, Palembang (ilustrasi : kompasiana.com) |